Pesta demokrasi pemilu legislatif 2014 sudah berlalu, namun
pernahkan kita memperhatikan kredibilitas, integritas, pendidikan, moral serta
sosialitas bakal calon (wakil rakyat) yang telah kita pilih?.
Berkaca
pada sejarah, sejak disahkan UU otonomi daerah dan dilaksanakannya pemilihan umum
terbuka, rakyat diharuskan memilih langsung wakil-wakil mareka yang diharapkan
dapat bertarung menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hal-hak mereka di
parlemen. Akan tetapi, pada kenyataannya setelah terpilih menjadi wakil kita,
mereka hanya sibuk mengurusproyek-proyek pendidikan, pembangunan, dan ekonomi sehingga
pundi-pundi uang dari hasil kongkalikong dengan para pemerintah daerah,
pengusaha serta perusaaan mengalir deras ke kantong mereka.
Lalu, dalam benak kita berfikir, mengapa hal ini bisa
terjadi?. padahal, yang
kita butuhkan adalah wakil yang setia, wakil yang selalu peduli dan selalu
duduk bersama dan siap menyuarakan kepentingan-kepantingan kita serta siap
berjuang mempertahankan kepentingan itu selama lima tahun kedepan. Kita tidak
membutuhkan wakil yang pandai beretrorika namun tanpa hasil dan bukti yang
nyata. Yang kita butuhkan adalah wakil yang setia dan selalu siap bersama.
Asumsi
awal kita adalah bahwa para caleg yang membeli suara kita dengan barang atau
uang, secara tidak langsung dia telah mencerminkan pribadi yang materialistik.
Nantinya, selama lima tahun kedepan mereka akan menjalankan tugas mereka dengan
uang pula dan tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan menyogok.
Kita
akui bahwa memeng hal yang lumrah dalam dunia politik demokrasi, para insan
politis melakukan berbagai cara untuk merebut hati masyarakat. Tidak jarang
mereka mengobar-ngobaar beribu janji akan berjuang untuk masyarakat apabila
sudah terpilih menjadi anggota legislatif. tujuannya tidak lain yaitu untuk
mendongkrak suara mereka sehingga mereka menduduki kursi legislatif baik
tingkat kabupaten maupun provinsi.
Namun,
fakta yang terjadi adalah ketika para caleg dipercaya oleh masyarakat untuk
menjadi wakil mereka malah melupakan janji- janji dan komitmen mereka saat
mencalonkan diri. Mereka memanfaatkan waktu 20 hari sebagai batu loncat untuk
berkuasa selama lima tahun. Fenomena inilah yang terjadi dan telah mendarah
daging, sehingga menjadi budaya berfikir dan gambaran ideologi miring bagi para
caleg.
Maka
dari itu paradigma ini harus direkonstruksi ulang. Masyarakat Bangka-Belitung
khusunya dengan kapasitas level pendidikann dan pengetahuan tehadap dinamika
politik yang tidak setara diharapkan
mampu memilah dan meilih wakil rakyat yang benar-benar mampu memperjuangkan
hak-hak rakyat, mementingkan kemajuan daerah, memperhatikan kesejahteraan
rakyat baik segi finansial maupun nonfinansial.
Oleh sebab itu kredibelitas dan integritas seorang wakil rakyat itu sendiri penting
untuk kita pertimbangkan dan menjadi
prioritas utama, pendidikan
yang memadai akan menjadi bekal mereka dalam berkompetisi di ajang perlemen,
moral serta sosialitas yang tinggi akan menjadikan mereka selalu siap untuk
duduk bersama, mendengarkan semua aspirasi kita serta setia terhadap semangat
perjuangan dan cita-cita bangsa.
Penulis
Ahmad Habibi
(Ketua Umum ISBA Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar