Kepada Presiden Kami Tercinta - PERS ISBA YOGYAKARTA

Breaking

PERS ISBA YOGYAKARTA

Lembaga Pers Pelajar & Mahasiswa Bangka

Blogroll

- Ads Banner here -

Kamis, 23 Februari 2017

Kepada Presiden Kami Tercinta

KEPADA PRESIDEN KAMI TERCINTA
Oleh : Rahmat Sutandya Yudhanto



KADO INDAH AWAL TAHUN
Menginjak tahun ketiga kepemerintahan presiden Jokowi sejak dilantik menjadi pemimpin negara Indonesia, banyak pencapaian yang telah dicapai presiden Jokowi. Disadari atau tidak, salah satu pencapaian terbaik Jokowi adalah memenangkan polling Bloomberg dan menobatkannya sebagai pemimpin terbaik Asia-Australia tahun 2016. Berdasarkan data Bloomberg, Jokowi mampu menaikkan nilai tukar (2.41%), menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil (5,02% skala tahun ke tahun), dan memiliki tingkat penerimaan publik yang tinggi (69%). Indikasi tersebut mengantarkan Jokowi, satu-satunya pemimpin negara yang memiliki performa positif dibandingkan Malaysia dan Filipina yang nilai tukarnya cenderung negatif, yaitu -4,26% dan -5,29%.
Tidak hanya itu, pencapaian lain yang baru-baru ini menjadi kontra produktif ialah kebijakan baru yang menjadi kado indah di awal tahun 2017. Masyarakat disuguhkan dengan kebijakan yang sangat membebani masyarakat menengah ke bawah. Di berbagai media, pemberitaan kenaikan harga BBM, tarif listrik, kenaikan harga bahan pokok, harga rokok, meningkatnya tarif STNK dan BPKB hingga kenaikan harga rumah bersubsidi menjadi topik utama. Terang saja, dengan adanya kenaikan harga, sukses membuat masyarakat kehilangan trust (kepercayaan) kepada sang pemimpin. Pasalnya, kenaikan tarif dan harga berbagai aspek tersebut tidak diiringi pula dengan kenaikan gaji para pegawai atau pendapatan masyarakat. Terlebih lagi, yang hidup di desa dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Para petani hanya bisa pasrah menerima kondisi ini, pendapatan yang didapatkan dari sektor pertanian tentu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Keadaan yang tidak berbanding lurus dengan kondisi para petani di pedesaan hanya akan membuat mereka terkungkung dalam kemiskinan. Alih-alih ingin mensejahterakan rakyat dengan menaikkan tarif dan harga di berbagai sektor dengan harapan mengokohkan penerimaan pajak negara, justru membuat rakyat merasa terbelit dan terhimpit oleh kebijakan kaum elit.
Kondisi semakin diperparah dengan menurunnya harga beberapa komoditi utama para petani, misalnya karet yang menjadi sumber penghidupan petani di Pulau Bangka mengalami keanjlokan. Meskipun saat ini, sedang diupayakan dengan Perda untuk memproteksi petani karet dengan mempertahankan harga karet, kenyataannya ini bukanlah perkara yang mudah dan belum memberikan efek yang positif bagi petani karet. Apalagi saat ini, harga karet masih dimainkan oleh sistem kolektor besar yang cenderung menyengsarakan petani, tak ayal lagi petani karet harus gigit jari dan mengelus dada saat harga karet terus anjlok.
Sebagai contoh di Cengkong Abang, harga karet hanya berkisar 3000 rupiah perkilonya. Dengan kondisi ini mengharuskan para petani karet untuk beralih profesi guna mencukupi kebutuhan hidupnya seperti menjadi buruh bangunan. Iya, ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, biaya sekolah anak mereka, membayar tarif listrik hingga untuk membeli kebutuhan pokok. Jika ini tidak dilakukan, mereka hanya akan menjadi kaum yang semakin termarjinalkan, terus terhimpit dalam lingkaran kemiskinan.
Kembali lagi pada kebijakan yang telah dijalankan sejak awal Januari 2017, kebijakan ini hendaknya harus dikaji lagi. Mengingat kado indah di awal tahun yang dinamakan kebijakan ini sangat memberatkan rakyat, khususnya masyarakat di pedesaan. Kebijakan-kebijakan seperti ini hanya akan menciptakan pemiskinan struktural, di mana masyarakat tak berdaya melawan tirani kekuasaan.


PEMISKINAN STRUKTURAL
Penulis sengaja meminjam kata pemiskinan bukan kemiskinan struktural, dikarenakan kemiskinan yang ada di Republik Indonesia tercinta ini, bukan hanya disebabkan kemiskinan kultural atau budaya masyarakat Indonesia yang malas dan tidak mau bekerja. Pada praktiknya, masyarakat Indonesia khususnya mereka yang hidup di desa telah bekerja keras untuk bertahan hidup. Hanya saja keadaanlah yang membuat mereka tidak bisa bermobilisasi menuju kelas menengah atas. Lihatlah, kemiskinan yang terjadi di pedesaan terjadi karena kebijakan pemerintah sendiri yang memberatkan mereka. Kemiskinan yang dibuat oleh struktur elit pemegang kekuasaan.
Secara teoritis, menurut Heru Nugroho dalam tulisannya “Keluar dari Lingkaran Kemiskinan di Indonesia“ yang diterbitkan oleh harian Kompas, mendefinisikan kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada ketimpangan struktur sosial, sehingga membuat masyarakat golongan miskin tidak berdaya untuk mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik. Sekitar 14,11% penduduk miskin berada di pedesaan. Jumlah ini, dua kali lebih besar dibandingkan yang ada di perkotaan dengan jumlah 7,79%. Itu artinya, jika dipersentasekan jumlah penduduk miskin di pedesaan berkisar sekitar 70%, atau jika ditotalkan jumlah penduduk miskin sekitar 27,76 juta orang atau 10,7% dari jumlah total populasi Indonesia. (Data BPS, Maret 2016).
Pemiskinan struktural, terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak tepat untuk diterapkan. Pemerintah hanya fokus pada pengentasan masalah kemiskinan bukan pada penanggulangan kemiskinan. Bukan hanya itu saja, para masyarakat miskin juga harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit untuk mendapatkan bantuan tersebut yang rentan dengan praktik pembusukan (korupsi). Program atau kebijakan yang diterapkan melalui program BLT, RASKIN atau JPS dan PNPM bisa mengurangi masalah kemiskinan hanya dalam jangka pendek (short term). Seharusnya pemerintah juga harus memikirkan cara penanggulangan masalah kemiskinan dalam jangka panjang, misalnya dengan memproteksi produksi komoditi yang dihasilkan oleh petani lokal, memberikan edukasi untuk pengelolaan sistem agraria yang baik, menguatkan harga produk petani lokal, serta membantu masalah petani dalam menanggulangi gagal panen.
Alih-alih memproteksi produk petani lokal, pemerintah justru membuat kebijakan peningkatan impor produk dari luar negeri, belum lagi dampak dari pasar bebas. Petani tidak lagi hanya berurusan dengan pasar lokal dan nasional, namun pasar global. Dengan adanya produk impor, produk petani lokal akan kalah bersaing dan kekurangan posisi tawar. Petani padi di Bantul harus berhadapan dengan Petani Vietnam. Petani jagung di Kabupaten Karo harus berhadapan dengan petani jagung Amerika serta petani gula di Pasuruan harus berhadapan dengan petani Jagung di Australia. Mereka tidak punya pilihan lain selain menjual harga produk mereka dengan harga yang murah. Belum lagi jika hasil pertanian mereka gagal panen dikarenakan kondisi alam seperti banjir, maka mereka harus memanen lebih cepat untuk menghindari gagal panen, dan ini membuat mereka harus menjual hasil panennya dengan harga yang lebih rendah lagi. Contoh lainnya adalah, terus menurunnya harga komoditi petani lokal, seperti petani karet di Bangka yang harus menelan pil pahit lantaran pemerintah tidak serius memproteksi harga karet. Sehingga membuat mereka terus tenggelam dalam lautan kemiskinan.
Masyarakat kecil dan para petani hanya bisa menjerit dalam ketidak-berdayaannya, menangis dalam keterbatasannya dan meronta dalam gejolak harapan yang tak menentu. Iya, jeritan, tangisan, dan rontaan para masyarakat kecil tadi merupakan isi surat cinta dari para kaum yang termarjinalkan untuk Sang Presiden. Surat cinta yang diharapkan mampu membuka mata hati untuk lebih jeli dalam melihat sisi kelam kehidupan mereka yang terpinggirkan oleh ketimpangan struktur dan kebijakan yang memberatkan mereka. Sengsara dalam pemiskinan struktural yang diciptakan oleh struktur sosial. Oleh sebab itu, salah satu cara alternatif menangulangi kemiskinan yang disebabkan oleh struktur yang mapan lagi menindas, yaitu dengan cara mengubah struktur menuju tatanan yang lebih adil.

Yogyakarta, 23 Februari 2017
Dikala malam mulai sunyi dan hampa


Rahmat Sutandya Yudhanto Khaidar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar