Pandangan Positif "Dak Kawa Nyusah"
Oleh : Rahmat Sutandya Yudhanto Khaidar
KADIV Media dan Komunikasi ISBA Yogyakarta
yang dalam bahasa Indonesia berarti tidak mau susah. Kata ini, sangat sering dilontarkan oleh masyarakat Bangka ketika ingin melakukan sesuatu yang menurutnya tidak ingin dikerjakan. Menurut kalangan akademisi “dak kawa nyusah” sudah menjadi budaya di mayoritas masyarakat Bangka, karena secara sosiologi diartikan sebagai hasil reproduksi dari praktik-praktik sosial yang berulang dan melahirkan sebuah kebiasaan dari individu dan masyarakat, sehingga terekonstruksi secara sosial dari struktur sosial yang aktif yang pada akhirnya menciptakan budaya.
Tapi, apakah benar hal itu merupakan budaya mayoritas masyarakat Bangka?
Apakah benar hal tersebut sering dilakukan masyarakat Bangka? Disisi lain budaya “dak kawa nyusah” banyak disangkal oleh masyarakat Bangka. Budaya tersebut, bukanlah budaya yang dimiliki masyarakat Bangka. Secara negative, arti kata ini adalah malas dan terus menerus ingin hidup di zona yang aman dan nyaman. Tetapi, hal ini, berbeda dengan masyarakat Bangka asli yang sangat rajin dan tangguh, mampu berjuang untuk hidup dan rela mengambilresiko besar.
Kacamata masyarakat luar terhadap masyarakat Bangka berpendapat bahwa masyarakat Bangka itu rajin dan tangguh menjalani hidup. Hal ini terlihat dari kebiasaan masyarakat Bangka baik tua maupun muda dari dini hari sudah terbangun dan pergi ke kebun, ngelimbang timah dan melakukan pekerjaan yang dianggap masyarakat luar sangat berat dan pulang ketika matahari menghilangkan sinarnya. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk menyambung hidupnya. Tidak hanya sebagai pekerja tambang dan kebun itu saja, masyarakat Bangka pun
dianggap sangat tangguh, ulet dan menjunjung tinggi nilai solidaritas. Terbukti dari ujung Muntok (Bangka Barat)
hingga ujung Toboali (Bangka Selatan) nilai solidaritas tersebut dilambangkan dengan semboyan-semboyan daerah masing-masing. Bangka Selatan misalnya, memiliki semboyan “Junjung Besaoh” yang memiliki arti menjunjung tinggi semangat kegotong-royongan, Bangka Barat dengan semboyannya “Sejiran Setason” dan masih banyak lagi. Jika ditanggapi secara negatif kata “dak kawa nyusah” ini seakan-akan menjadi kerangkeng besi yang mengontrol
aktivitas masyarakat Bangka, agar selalu pada zona yang nyaman, aman tidak terlalu mau mengambil resiko dan pesimistis dalam menjalani hidup, pada akhirnya akan berdampak pada permasalahan masyarakat Bangka yang urgen seperti masa bodoh terhadap permasalahan-permasalahan dari beragam jenisnya. Dan masalah terumit sebenarnya masyarakat Bangka masih terjajah oleh kemalasan. Namun, jika pola pikir ini dirubah, maka kata “dak kawa nyusah” itu akan ditafsirkan menjadi kata “dak kawa nyusah, kalo gawe dak bener”. Hasilnya kata-kata itu bernilai positif, dimana kalau kerjaan yang tidak benar, ya tidak perlu dikerjakan. Atau tidak mau peduli dengan urusan yang tidak benar. Hal positif inilah yang harus dipelihara, dengan pola pikir seperti ini masyarakat Bangka tidak akan terjerumus kedalam urusan tidak benar yang akan menambah permasalahan-permasalahan masyarakat Bangka itu sendiri. Memang masyarakat Bangka memiliki solidaritas yang tinggi, tapi dengan ada kata “dak kawa nyusah” jika ditanggapi dengan positif, masyarakat Bangka tidak akan asal-asalan solid dengan segala hal, akan
tetapi cukup saja solid dengan hal positif. Terbukti masyarakat Bangka jika ada hal positif mereka akan solid seperti
saling membantu dengan senang hati ketika membuka lahan perkebunan baru, mereka juga akan solid untuk memberantas hal-hal negatif.
Kata “dak kawa nyusah” juga merupakan perwujudan dari sikap toleransi atau dengan kata lain tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Pandangan penulis karena hal inilah beragam etnis, suku, dan agama di Bangka mampu hidup rukun dan damai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan toleransi masyarakat Bangka
menjadi sorotan nasional, karena di pulau ini orang-orang pribumi dapat hidup rukun dan damai dengan orang-orang non pribumi (etnis cina-red).
Menurut Penulis, menanggapi hal ini harus melihat dari sudut pandang yang positif. Jangan sampai menanggapi budaya “dak kawa nyusah” ini dari sudut pandang negatif yang justru akan melemahkan eksistensi masyarakat Bangka itu sendiri. Dengan konotasi positif dari istilah “dak kawa nyusah” dapat membawa masyarakat Bangka tampil dengan jati diri sebernarnya yakni sangat rajin, tekun dan saling toleransi. Sesuatu yang positif tentu akan
membawa hal positif pula, maka sudah saatnya masyarakat Bangka merasa bangga pada daerahnya sendiri termasuk budaya-budaya yang ada di Bangka itu sendiri.(****).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar